Penghasilan Peternak Itik Melebihi Gaji Pegawai Negeri Sipil
PURBALINGGA, BNC – Siapa sangka penghasilan peternak itik ternyata melebihi gaji seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) Golongan III. Meski kadang profesinya dinilai sebelah mata, namun kesejahteraan mereka boleh dibilang berkecukupan. Modal pakan itik, tak harus dikeluarkan dalam jumlah banyak. Mereka memilih sistem beternak berpindah-pindah atau nomaden. Ternaknya diumbar ke persawahan yang telah dipanen.
“Kami biasanya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dalam satu tempat biasanya selama 3 – 4 minggu. Jika sisa-sisa gabah di sawah sudah tidak ada, maka kami memutuskan untuk berpindah ke lokasi lain,” tutur Guncang Gunawan (18) saat menjaga ternak itiknya di areal persawahan di Desa Kedungwuluh, Kecamatan Kalimanah, Purbalingga, Sabtu (18/8).
Guncang Gunawan masih tinggal bersama orang tuanya di Desa Panican, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga, atau sekitar 15 kilometer dari tempatnya menggembala itiknya saat ini. Meski jarak tak begitu jauh, Guncang bersama orang tuanya, tetap setia menunggui ternak itiknya terus menerus.
Peralatan memasak air dan perbekalan ala kadarnya untuk menyambung hidup tampak tersimpan di gubuk kecil beratap jerami. Dua sepeda motor juga ditutupi karung goni dan jerami padi. Sepeda motor keluaran terbaru itu setidaknya menandakan penghasilannya yang sudah cukup lumayan. Guncang mengaku tidur hanya beralas tumpukan jerami yang dilapisi karung-karung bekas. Bau khas kotoran bebek sudah akrab dalam kesehariannya di gubuk itu. Ibaratnya, ia harus tidur bersama bebek dan kotorannya.
Lebaran juga tak begitu berarti bagi mereka. Ternak itik tetap setia ditungguinya. Soal silahturahmi, bisa bergantian dengan ayahnya. ”Lebaran ya biasa saja mas. Itiknya butuh di-angon (digembalakan). Kalau tidak nanti ya tidak bertelur,”tutur Guncang yang hanya lulus dari SMPN 1 Kemangkon tahun 2009 silam.
Ternak itik yang dipelihara Guncang bersama orang tuanya sebanyak 300 ekor. Jumlah ini dibagi dalam dua kandang dengan isi masing-masing 150 ekor. Umurnya berbeda sehingga harus dipisah. Namun, semuanya sudah bertelur. Dari 300 ekor itu, rata-rata sehari menghasilkan 200 butir telur. Harga satu butir Rp 1.400.-. Juragan telur itik secara rutin dua hari sekali mengambil telur-telur itu. Jika dihitung, penghasilan per bulan rata-rata Rp 8,4 juta.
”Kalau sisa padi di sawah masih banyak, telur yang dihasilkan bisa lebih banyak. Ya, tidak mesti mas. Bisa saja hanya bertelur sekitar 150 an,” ujarnya.
Menurut Guncang, biaya pakan yang dikeluarkan hampir tidak ada saat panen padi tiba. Namun, jika pakan sudah mulai berkurang, terpaksa harus membeli loyang (sisa nasi yang dikeringkan) seharga Rp 2.700 per kilogram. Setiap harinya butuh sekitar 10 kilogram loyang. Soal tempat, Guncang hanya meminta ijin kepada pemilik sawah. ”Biasanya kalau yang punya sawah datang, ya diberi telur itik,” ungkap Guncang.
Selain Guncang, peternak lain Tuslam Setiyadi (16) juga mengaku hal yang sama. Tuslam yang boleh dibilang masih remaja itu, memelihara 300 ekor bersama orang tuanya. Hanya saja, 150 ekor ternak itiknya masih belum bertelur. ”Ternak yang belum bertelur ya tetap digembalakan, jadi mengurangi biaya pakan yang harus dibeli,” ujar Tuslam.
Tuslam mengaku, dari 150 ekor itiknya, rata-rata bertelur hanya sekitar 80 butir sehari. Namun menurutnya, penghasilannya sudah cukup lumayan.
Tuslam dan Guncang biasanya membawa ternak itiknya berombongan. Ada 3 – 4 peternak. Soal lokasi, biasanya sudah dicari dahulu ke persawahan yang sudah panen dan banyak air. ”Kalau di Purbalingga tidak ada, ya kami bisa saja sampai ke Sampang Cilacap atau ke Randudongkal Pemalang,” tutur Guncang yang dibenarkan Tuslam.
Keduanya mengaku, biaya yang dikeluarkan dari pada untuk membeli pakan, akan lebih hemat menyewa kendaraan bak terbuka untuk memindahkan itiknya ke lokasi lain. (BNC/tgr)
“Kami biasanya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dalam satu tempat biasanya selama 3 – 4 minggu. Jika sisa-sisa gabah di sawah sudah tidak ada, maka kami memutuskan untuk berpindah ke lokasi lain,” tutur Guncang Gunawan (18) saat menjaga ternak itiknya di areal persawahan di Desa Kedungwuluh, Kecamatan Kalimanah, Purbalingga, Sabtu (18/8).
Guncang Gunawan masih tinggal bersama orang tuanya di Desa Panican, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga, atau sekitar 15 kilometer dari tempatnya menggembala itiknya saat ini. Meski jarak tak begitu jauh, Guncang bersama orang tuanya, tetap setia menunggui ternak itiknya terus menerus.
Peralatan memasak air dan perbekalan ala kadarnya untuk menyambung hidup tampak tersimpan di gubuk kecil beratap jerami. Dua sepeda motor juga ditutupi karung goni dan jerami padi. Sepeda motor keluaran terbaru itu setidaknya menandakan penghasilannya yang sudah cukup lumayan. Guncang mengaku tidur hanya beralas tumpukan jerami yang dilapisi karung-karung bekas. Bau khas kotoran bebek sudah akrab dalam kesehariannya di gubuk itu. Ibaratnya, ia harus tidur bersama bebek dan kotorannya.
Lebaran juga tak begitu berarti bagi mereka. Ternak itik tetap setia ditungguinya. Soal silahturahmi, bisa bergantian dengan ayahnya. ”Lebaran ya biasa saja mas. Itiknya butuh di-angon (digembalakan). Kalau tidak nanti ya tidak bertelur,”tutur Guncang yang hanya lulus dari SMPN 1 Kemangkon tahun 2009 silam.
Ternak itik yang dipelihara Guncang bersama orang tuanya sebanyak 300 ekor. Jumlah ini dibagi dalam dua kandang dengan isi masing-masing 150 ekor. Umurnya berbeda sehingga harus dipisah. Namun, semuanya sudah bertelur. Dari 300 ekor itu, rata-rata sehari menghasilkan 200 butir telur. Harga satu butir Rp 1.400.-. Juragan telur itik secara rutin dua hari sekali mengambil telur-telur itu. Jika dihitung, penghasilan per bulan rata-rata Rp 8,4 juta.
”Kalau sisa padi di sawah masih banyak, telur yang dihasilkan bisa lebih banyak. Ya, tidak mesti mas. Bisa saja hanya bertelur sekitar 150 an,” ujarnya.
Menurut Guncang, biaya pakan yang dikeluarkan hampir tidak ada saat panen padi tiba. Namun, jika pakan sudah mulai berkurang, terpaksa harus membeli loyang (sisa nasi yang dikeringkan) seharga Rp 2.700 per kilogram. Setiap harinya butuh sekitar 10 kilogram loyang. Soal tempat, Guncang hanya meminta ijin kepada pemilik sawah. ”Biasanya kalau yang punya sawah datang, ya diberi telur itik,” ungkap Guncang.
Selain Guncang, peternak lain Tuslam Setiyadi (16) juga mengaku hal yang sama. Tuslam yang boleh dibilang masih remaja itu, memelihara 300 ekor bersama orang tuanya. Hanya saja, 150 ekor ternak itiknya masih belum bertelur. ”Ternak yang belum bertelur ya tetap digembalakan, jadi mengurangi biaya pakan yang harus dibeli,” ujar Tuslam.
Tuslam mengaku, dari 150 ekor itiknya, rata-rata bertelur hanya sekitar 80 butir sehari. Namun menurutnya, penghasilannya sudah cukup lumayan.
Tuslam dan Guncang biasanya membawa ternak itiknya berombongan. Ada 3 – 4 peternak. Soal lokasi, biasanya sudah dicari dahulu ke persawahan yang sudah panen dan banyak air. ”Kalau di Purbalingga tidak ada, ya kami bisa saja sampai ke Sampang Cilacap atau ke Randudongkal Pemalang,” tutur Guncang yang dibenarkan Tuslam.
Keduanya mengaku, biaya yang dikeluarkan dari pada untuk membeli pakan, akan lebih hemat menyewa kendaraan bak terbuka untuk memindahkan itiknya ke lokasi lain. (BNC/tgr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar